Berbekal pengalaman sebagai birokrat, Zaafril Razief Amir memiliki
obsesi menjadikan PT Asuransi Ekspor Indonesia (Asei) berbeda dengan
perusahaan asuransi lainnya.
Lulusan pertama Universitas Indonesia
untuk konsen trasi asuransi ini menginginkan BUMN yang dipimpinnya itu
berkontribusi signifikan bagi peningkatan ekspor sekaligus menunjang
perekonomian nasional, dan menjadi perusahaan sehat.
Kepada Bisnis
Indonesia, pehobi golf ini menuturkan banyak tentang perjalanan karier,
persaingan, hingga strategi kerja sama dan layanan kepada pelanggan.
Petikannya:
Bagaimana perjalanan Anda menjadi orang nomor satu di
Asei?Saya kuliah di Universitas Indonesia mengambil jurusan akuntansi.
Saat tingkat tiga, saya diberi beasiswa oleh perusahaan asuransi asal
Jepang, termasuk untuk bekerja di perusahaan itu jika sudah lulus,
tetapi tidak mengikat. Saya lulusan pertama UI untuk konsentrasi
asuransi.Saya diterima di Kemenkeu di bagian yang menjadi cikal Badan
Kebijakan Fiskal. Jadi background saya manajemen asuransi, tetapi saya
mengerjakan sesuatu yang makro, seperti perencanaan APBN dan analisis
perbankan.Saat dibentuk Ditjen Lembaga Keuangan. Saya menjadi direktur
perbankan. Setelah itu, saya ditempatkan di bagian pendidikan, lalu
ditempatkan di Asei, sebagai direktur operasional.Sempat kembali ke
Kemenkeu, saya ditugaskan lagi ke Asei menjadi direktur utama. Pada
2010, ketika saya berusia 56 tahun, saya mendapatkan pilihan kembali
lagi ke Kemenkeu atau tetap di Asei dengan status pensiun.Apakah Anda
tidak merasakan canggung ketika pindah dari Depkeu ke Asei yakni beralih
dari birokrat menjadi pelaku usaha?Saat ini, saya sudah memiliki
bermacam-macam latar belakang, menjadi birokrat, pembuat peraturan,
pengawasan ketika di Direktorat Perbankan, dan juga latar belakang
sebagai pelaku usaha.Kalau boleh jujur, saya lebih suka menjadi pelaku
usaha. Ini lebih cocok dengan karakter saya, daripada jika saya di
birokrasi.
Sebagai birokrat, terus terang ruang gerak untuk inovasi,
kreativitas, dan improvisasi cenderung dibatasi. Tapi kalau di sini
[Asei] saya bisa berinovasi apa saja. Bisa membuat produk baru, bekerja
sama, menyusun strategi, menyusun skema-skema. Di Asei saya melakukan
sendiri, membuat kebijakan sendiri, mengukur sendiri, begitu pun dalam
mengangkat pegawai, saya harus berhitung.
Jauh lebih menantang di
sini. Semuanya jelas. Tanggung jawab saya jelas. Hasilnya juga jelas.
Misalnya kalau saya melakukan sesuatu maka hasilnya seperti apa dan
kalau saya tidak melakukan hasilnya seperti apa. Saya suka itu, semuanya
terukur, nyata. Saya jadi dapat melihat perkembangan seperti apa.
Ketika menjadi birokrat tidak dapat seperti itu.
Bagaimana pasang
surut mengelola Asei?Tujuan lembaga seperti Asei itu mulia. Hampir semua
negara besar memiliki ECA [export credit agency] seperti Asei, yaitu
lembaga yang dibuat oleh pemerintah untuk mendorong ekspor. Biasanya di
bawah perdana menteri, atau menteri, bahkan ada yang langsung di bawah
pimpinan negara. ECA umumnya berformat government agency, seperti Bulog.
Kalau untung labanya untuk kepentingan usahanya. Kalau rugi akan
dibantu pemerintah.
Di luar negeri, bentuknya lembaga nirlaba milik
pemerintah untuk meningkatkan ekspor. Lembaga ini tidak membayar
dividen, tidak membayar pajak, dan kerugian operasional ditanggung
pemerintah. Kinerjanya diukur berdasarkan seberapa besar membantu
peningkatan ekspor.
Di sini, kami diperlakukan sebagai BUMN asuransi
yang ter kena dua regulasi, yaitu regulasi BUMN dan asuransi. Sebagai
asuransi, kami terkena ketentuan keuangan, permodalan, dan rasio
solvabilitas. Sebagai BUMN, kami harus memperoleh laba, membayar pajak,
dan membayar dividen.
Ukuran kinerja sama dengan perusahaan asuransi
lain, seperti pendapatan premi, dan RBC (risk based capital).Artinya
kita punya misi mendorong ekspor, tetapi tidak boleh merugi dan harus
sehat. Karena saya harus mendukung usaha kecil, dan usaha lemah, saya
menjadi jauh lebih berisiko. Jadi tugas ECA di sini jauh lebih berat
daripada ECA di luar negeri.Akhirnya saya harus memilih nasabah yang
aman bagi Asei. Padahal, sebetulnya yang perlu saya bantu adalah nasabah
yang ti dak aman, yang kecil-kecil, yang tidak berpengalaman ekspor,
dan tidak punya pengetahuan siapa pembeli dari luar negeri.Ternyata yang
masuk ke Asei adalah perusahaan-perusahaan besar yang standar opera
sionalnya mengharuskan ionalnya mengharuskan mereka mengasuransikan
risikonya. Dari kontribusi ke laba lebih besar, lebih enak untuk saya.
Tetapi sebetulnya fungsi saya kan, harus mendukung usaha kecil. Nah, ini
yang kurang terlak sana karena saya harus mengejar laba. Ini kegalauan
saya.
Apakah itu tidak mengubah fungsi Asei sebagai ECA?Fungsinya
tetap ECA karena anggaran dasar menjadikan Asei sebagai ECA, ya itu ECA
yang boleh menjalankan ke giatan asuransi umum dan penjaminan. Ada
untung-ruginya. Untungnya, ASEI menjadi one stop service. Tidak ada ECA
lain yang mempunyai empat usa ha sekaligus dalam satu atap. Kami punya.
Kerugiannya
adalah tidak jelasnya Asei ini sebagai makhluk apa. Ini keg undahan
saya. Fungsi pokok Asei jelas yaitu ECA, tetapi kegiatan asuransi umum
mendominasi.
Pernahkah Anda mengambil keputusan sulit dan dilematis?
Seperti apa?Keputusan yang menantang, yaitu meng ubah pola pikir dan
etos kerja di sini. Pasalnya, Asei dikenal sebagai perusahaan yang
uangnya banyak. Dulu kami hidup dari investasi, sedangkan penerimaan
hasil penge lolaan premi kecil. Ketika krisis 1997--1998, saat bunga
investasi tinggi, Asei jaya betul.
Kami dulu punya captive market.
Semua kre dit ekspor wajib diasuransikan ke Asei. Itu membuat mental
kami cenderung menunggu penyaluran kredit ekspor bank, dan wajib
diasuransikan ke Asei. Asei pun menjadi lembaga yang manja dan stafnya
tak berkembang inisiatifnya.
Waktu saya masuk Asei, produknya itu-itu
saja. Asei memang punya produk asuransi ekspor, asuransi kredit, surety
ship, tetapi biasabiasa saja. Nasabah asuransi ekspor hanya 50 nasabah.
Untuk asuransi kredit hanya punya kerja sama dengan satu bank. Surety
ship-nya biasa-biasa saja. Asuransi umumnya hampir tidak berkembang.
Setelah
diselidiki, ternyata tolak ukur kinerja ketika itu laba. Laba dari
berhasilnya investasi di deposito sudah dianggap prestasi.
Bagaimana Anda memersepsikan pelanggan?
Saya
di perusahaan jasa, pelanggan pasti luar biasa untuk saya. Saya
memberikan ser vis kepada perbankan dan eksportir. Bagi perbankan, saya
dinilai dari konsistensi omongan. Ini yang saya jaga.
Hal pertama
yang saya janjikan adalah klaim pasti dibayar. Di perusahaan asuransi
beredar anggapan jika bisa tidak bayar klaim maka tak akan bayar dengan
alasan sedemikian rupa. Namun, saya memastikan di awal klaim harus
dibayar. Treatment saya 2 minggu, boleh dibukti kan. Kalau ada yang
berlama-lama dalam membayar klaim, saya marah sekali.Saya tidak akan
lari dari itu [bayar klaim]. Jadi, orang akan nyaman. Klien harus
dilayani dengan baik. Kalau boleh jujur, modal tidak terlalu perlu untuk
saya.
Bagaimana terhadap pesaing?Secara keberadaan, tidak ada
asuransi ekspor lain di Indonesia. Namun, secara praktik ada, seperti
Euler Hermes yang kantornya di Singapura.
Oleh karena itu, saya harus
fight agar pengusaha kita lebih percaya lembaga di dalam negeri.Untuk
itu Asei bekerja sama dengan NEXI, ECA-nya Jepang. Wilayah kerjanya
sudah dunia.
Saat saya datang sendiri untuk menjamin ekspor
perusahaan-perusahaan Jepang di sini, mereka bertanya, kamu siapa.
Tetapi ketika saya gandeng NEXI, mereka menjadi yakin. “Oo, NEXI..
NEXI..“
Bagaimana Anda menyiapkan atau memetakan Asei ke depan?
Asei
itu luar biasa. Hal yang saya kembangkan adalah kepercayaan. Waktu saya
datang pertama, yang saya jual adalah bahwa saya harus dipercaya.
Sekarang alhamdulillah saya sudah mendapatkan kepercayaan dari ECA-ECA
di luar negeri.
Kepercayaan itu paling penting. Saya bekerja sama
dengan hampir semua ECA di Asia seperti Jepang, Korsel, China, India,
Taiwan, Hong Kong, Malaysia, Thailand, serta Uni Emirat Arab dan ECA-ECA
di Timur Tengah. Penjaminan saya sudah bisa diterima di semua negara
itu.Saya ingin menggerakkan bank memberikan kredit kepada siapa pun yang
saya tunjuk atas dasar kepercayaannya kepada saya dan penjaminan Asei.
Jadi, saya tidak perlu tambahan modal, atau menjadi bank, untuk dapat
menggerakkan potensi ekonomi itu.Saya berharap perusahaan seperti ini
lebih banyak lagi. Indonesia perlu penjamin-penjamin, seperti Asei.
Pernahkah Anda menghadapi karyawan yang menentang keputusan Anda?
Protes
frontal tidak ada. Tapi diam-diam tidak dikerjakan, tidak mengerti,
malu bertanya, ya, yang seperti itu. Orang yang punya visi dan ingin
maju tidak banyak. Lebih banyak yang mau aman. Dari hari ke hari bekerja
itu-itu saja. Produk tak dikembangkan. Pemikiran tidak dikembangkan.
Saya
menganggap ini tantangan. Saya tidak bisa bekerja sendiri. Semua harus
saya didik supaya berpandangan sama dengan pandangan CEO-nya.
Siapa
orang di balik sukses Anda?Banyak. Dari keluarga, tentu orang tua. Saya
percaya tidak ada orang sukses kalau tidak baik pada orang tuanya.
Berkah Allah itu melalui orang tua. Sukses itu luar dalam.
Kedua,
atasan-atasan saya yang telah mendidik saya. Dan tentunya pemegang saham
yang memberi kepercayaan luas untuk mengembangkan Asei.
Bagaimana Anda menyeimbangkan urusan pekerjaan dengan keluarga?
Itu
sebetulnya persoalan klasik. Tetapi kalau bekerja dengan senang dan
sepenuh hati, hasilnya beda. Kadang heran mengapa saya cukup kuat di
sini, sejak awal bergabung hingga sekarang belum pernah absen. Kalau
pulang dari luar negeri masih pukul 15.00 atau 16.00, saya pasti
sempatkan ke kantor. Saya merasa Asei adalah anak saya yang harus saya
jaga. Ada amanah.
Apa obsesi Anda yang belum tercapai?
Kalau
urusan pribadi, saya ingin secepatnya menuntaskan anak-anak. Paling
tidak, ya nikah semua. Tapi ternyata tidak bisa cepat, karena saya punya
anak yang masih berusia 9 tahun.
Kedua, saya ingin membuat Asei
berbeda.Asei harus punya peran, baik peran makro maupun peran mikro.
Peran makro adalah menunjang perekonomian nasional dan menyumbang
peningkatan ekspor. Peran mikronya menjadi perusahaan sehat.
Sudirman Maman Rusdi Selalu
berpikir lebih maju menjadi modal bagi Sudirman Maman Rusdi, yang
merintis karier dari tingkatan pekerja paling bawah ini menjadi orang
nomor satu di PT Astra Daihatsu Motor (ADM).
Tak hanya itu, pria
kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, ini juga menjadi orang non-Jepang
pertama yang dipercaya menduduki jabatan Direktur Daihatsu Motor Company
Ltd, sejak perusahaan Jepang ini berdiri pada 1907.
Dalam sebuah
wawancara dengan Bisnis Indonesia, Sudirman tak hanya bercerita tentang
perjalanan kariernya, tetapi juga memaparkan kunci-kunci mengatasi
kesulitan, orang di balik suksesnya, agenda yang tengah dijalankan,
hingga rencana yang menjadi obsesinya. Berikut petikannya:
Bagaimana perjalanan Anda di Daihatsu?
Ceritanya
panjang. Sebelum masuk Daihatsu saya sudah bekerja 1,5 tahun sebagai
chief bidang perencanaan pada perusahaan joint venture PT Aluminium
Working Indonesia di Tangerang.
Saya masuk Daihatsu pada 1978. Saya
melamar, dari 86 orang yang dites, tiga orang lolos. Saat itu Daihatsu
membuat komponen body, saya sebagai staf produksi. Pabrik saat itu masih
kosong, saya membuat layout tempat untuk peralatan yang mau datang.
Saat itu benar-bena dari nol, tempat makan saya makan saya bangun
sendiri, baju-baju bergelantungan, saya bikin loker dari papan. Saya
makan minum di atas mesin, dikerjakan dari siang, malam, sampai siang.
Tiga bulan bekerja saya diangkat jadi karyawan.
Tahun 1989 saya
menjadi assistant manager manufacturing department, dan manajer pada
1989. Sejak Februari 2011 menjadi Presiden Direktur ADM, dan menjadi
Direktur Daihatsu Motors Company (DMC), Jepang, sejak Juni 2011.
Orang non-Jepang pertama jadi Direktur DMC?
DMC itu berdiri pada 1907 untuk membuat mesin-mesin pertanian.
Pada
1951 Toyota masuk, barulah namanya menjadi Daihatsu dan memproduksi
mobil. Selama perjalanan panjang, hingga tahun lalu berumur 104 tahun
tidak ada satu pun direksinya orang asing.
Diangkat menjadi Presiden
Direktur ADM saya merasa ini amanah dan kepercayaan, karena kepemilikan
saham DMC 61,8% yang notabene presiden direk notabene presiden direk tur
dari mereka. Astra sebagai pemegang saham kedua 31,8% dengan jabatan
vice president, jabatan yang saya pegang sebelumnya.
Yang pertama
dikasih tahu waktu itu adalah Pak Hidayat, Menteri Perin dustrian, saat
Chairman DMC itu ber temu pada 31 Agustus 2010. Sebelum itu, Chairman
DMC sempat bertanya pada saya tentang umur. Umur saya 56 tahun. Dia
bilang perusahaan sudah besar, Anda sudah berkecimpung sejak lama
membangun ADM, dan sebagai apresiasi perusahaan ini dipegang orang
Indonesia. Dan saya percaya dipegang oleh Anda.
Dia bilang jika sudah menjadi Presiden Direktur ADM bisa menjadi direktur di DMC, dan ini baru pertama kalinya terjadi.
Bagaimana Anda menanggapinya?
Semua itu adalah Tuhan yang menentukan, manusia hanya bisa berusaha. Saya anggap ini anugerah.
Saya
selalu berpikir satu langkah ke depan, saya belajar. Saat menjadi
asisten manager, saya berpikir tugas dan tanggung jawab manager itu
seperti apa. Ini bukan berambisi menduduki posisi itu, tetapi saat
posisi itu ada, tentu akan diberikan kepada orang yang paling siap, tahu
tugas dan tanggung jawabnya.Pengalaman tersulit apa yang pernah
dialami?
Saat krisis 1998 harus mengurangi orang. Daftarnya
orang-orang yang pernah menjadi atasan, senior saya, meski Astra memberi
kompensasi yang baik. Lalu saya memulai lagi dari nol lagi. Siapa-siapa
yang saya tunjuk jadi kepala pabrik.
Kalau mengenai turun naik
produksi, sejak awal berkarier, itu biasa. Kesulitannya lebih kepada
hati. Mereka yang bekerja bersama-sama saya 10-15 tahun dan pernah
menjadi senior.
Kata kunci untuk mengatasi kesulitan itu?
Saya
mengajak berpikiran logis dulu, bicara fakta, lalu dari hati ke hati.
Ini kan bukan kehendak pribadi, tetapi karena tuntutan profesionalisme.
Pernahkah mengambil keputusan yang keliru lalu disesali?
Ada,
tetapi bukan keputusan fatal. Bukan berarti keputusannya salah, tetapi
kurang sem purna, berarti di lain waktu perlu improvement lagi.
Keputusan monumental yang pernah diambil?
Saya
lebih melihat ke depan bagaimana langkah strategi perusahaan. ADM ini
harus seperti ini, saya ajukan ke Jepang, dan gayung bersambut. Contoh,
mendirikan pabrik baru di Kawasan Industri Suryacipta, Karawang.
Inspirasinya
datang saat pulang dari Eropa. Di pesawat saya berpikir poyeksi pasar,
dan kapasitas pabrik Daihatsu dan Toyota yang tidak akan mencukupi. Izin
pabrik di Sunter tidak selamanya, hanya sampai 2024.
Lalu kita mulai
berpikir untuk mencari tanah dan mengatakan pada DMC. Januari beli
tanah, Mei 2011 kami ground breaking. Saat ini pabrik sudah 80%, mesin
sudah ada di sini. Oktober siap operasi.
Pembangunan pabrik baru salah satu yang monumental?
Pada
awalnya saya memang ingin mencari tanah untuk tempat R&D. Namun
karena pasarnya sedang bagus, makanya saya balik. Saya membangun pabrik,
tetapi R&D akan tetap dilanjutkan. Akhir bulan ini fasilitas
R&D sudah mulai dibangun.
Bagaimana Anda melihat kompetitor dan memperlakukan pelanggan?
Semua
melihat Indonesia sebagai pasar yang kompetitif. Kita tidak bisa
petitif. Kita tidak bisa menghindari persaingan. Pada akhir nya semua
kita kembalikan kepada konsumen.
Salah satu cara nya adalah bagaima
na memberi kepua san maksimal pada konsumen. Kalau secara produk, model
antarmerek itu hampir sama, teknologi juga tidak terlalu berbeda,
tinggal mau dipasarkan dengan harga berapa. Pemenang di tangan konsumen.
Kami
dalam menetapkan supplier syaratnya QCD, quality, cost, delivery.
Setiap mau investasi kami jeli melihat pasar itu seberapa besar karena
pernah mengalami pahitnya. Punya kapasitas produksi 78.000 unit tetapi
hanya ber 78.000 unit tetapi hanya ber produksi 18.000 unit setahun.
Bagaimana Anda melihat posis R&D?
Sangat
strategis. Jika mempunyai kemampuan R&D, kita bisa merespons pasar
dengan cepat karena pasa dinamis, apalagi persaingan semakin ketat. Kita
bisa mengetahui segmen pasar, kebutuhan pasar ekspor, dan bisa buat
produk yang diperlukan pasar.
Tanpa R&D, semua ditetapkan oleh
prinsipal, mulai dari perencanaan awal sampai produk itu di-launching
butuh waktu 2,5--3,5 tahun. Selama ini, baru 10%-15% orang ADM yang
membantu di Jepang untuk ang membantu di Jepang untuk Avanza-Xenia. Kita
mau rancang bangun pembuatan body dan sasis dilakukan oleh orang orang
Indonesia.
Strategi dalam 1-2 tahun ke depan?
Saya harus
menyiapkan budget pabrik baru, meningkatkan kapasitas produksi. Tahun
ini, pembangunan R&D dilakukan tahap pertama, tahun depan tahap
kedua, ketiga, ini dilakukan terus.
Siapa orang di balik sukses Anda?
Atasan
yang memberi kepercayaan kepada saya. Pertama memberi saya kepercayaan
di Daihatsu adalah Pak Josep Handoko. Ketika di National Astra Motor
adalah Pak Aji Santoso.
Berikutnya Pak Prijono sebagai atasan langsung. Banyak diskusi juga dengan almarhum Pak Michael D. Roeslim.
Jadi
kuncinya, selain belajar dan berpikir ke depan, saya menjaga
kepercayaan dengan melakukan yang terbaik sehingga mendapatkan
kesempatan. Kesuksesan itu tidak terlepas dari yang memimpin.
Kepada
anak buah, saya selalu mengajarkan supaya mengoreksi saya jika keliru.
Daihatsu saya ingin membentuk tim yang super, bukan individu yang super.
Saya ingin tim yang solid.
Apakah mempersiapkan kader di ADM?
Seperti
yang saya bilang tadi, mempersiapkan fondasi yang kuat, termasuk
kader-kader. Dulu setelah pengurangan karyawan, produksi turun. Kita
tidak merekrut banyak karyawan. Pada 2004-2005 baru merekrut yang
bagus-bagus lagi.
Saya ingin paripurna dengan baik, meninggalkan
legacy bagi perusahaan ini, menyiapkan fondasi perusahaan dengan baik,
stepping perusahaan ke depannya, termasuk orang-orangnya.
Kebanggaaan
saya terhadap perusahaan ini adalah karyawan yang mencapai 9.000 orang.
Dulu karyawan 4.500 orang, ada krisis dipotong-potong jadi 1.400-an
orang. Memberikan lapangan kerja, dan kesejahteraan itu membahagiakan
saya. Belum lagi ada 155 pemasok tingkat pertama, 850 pemasok tingkat
kedua. Berapa itu karyawannya, dan keluarganya.
Sistem kaderisasinya seperti apa?
Kami mengikuti pola Astra. Ada people assessment management, ada people roadmap, kita lakukan itu.
Persiapan bisnis atau kegiatan di masa pensiun?
Tidak [ada]. Saya mungkin mencari kesibukan saat itu, tetapi saya ingin menikmati hidup.
Bagaimana membagi urusan keluarga dengan pekerjaan?
Sejak
2 tahun lalu saya korbankan bermain golf. Saya menyadari anak anak
makin besar, membutuhkan perhatian. Kalau Sabtu masih harus bekerja,
Minggu siang harus buat keluarga. Olahraga relatif tidak ada.
Cita-cita saat kecil?
Ingin
bikin mobil. Ayah saya punya perusahaan angkutan. Kalau ada sopir mau
bongkar mesin saya tak jadi main bola, ikut nongkrongin bongkar mesin.
Siapa tokoh idola?
Dulu
saya paling suka mendengarkan pidato Bung Karno. Lalu saya lihat orang
pintar, berposisi di luar negeri, [Bacharuddin Yusuf] Habibie. Tapi yang
selalu mengilhami, mendorong, dan menasehati itu ibu saya.
Obsesi?
Itu tadi. menyiapkan fondasi yang kuat, membangun kader-kader yang bagus, itu legacy bagi perusahaan.
Kenangan
depresi besar atau great depression mulai muncul lagi di benak para
ekonom. Setiap kali membaca berita perekonomian dunia, seakan-akan
selalu muncul istilah ‘tidak becus’ dan ‘ketidakmampuan’. Maka, bayangan
miris tentang depresi perekonomian yang melanda berbagai belahan bumi
seusai Perang Dunia II pun menjadi ‘hantu’ di berbagai prediksi.
Apakah
sesungguhnya para pengambil kebijakan dunia itu memang tidak becus?
Benarkah lulusan dari Harvard itu kurang cerdik menangani krisis di
Amerika Serikat? Para staf ahli menteri di Eropa itu tidak mampu
merumuskan formula tepat terhadap berbagai krisis di beberapa negara?
Perkara
yang sebenarnya terjadi adalah kepercayaan. Manakala Presiden Barack
Obama mengajukan nama Jim Yong Kim sebagai bos di Bank Dunia untuk
menggantikan Robert Zoellick, yang ia ajukan adalah kepercayaan.
Para
pengamat meributkan kompetensi Kim, “Seorang dokter mengurusi
perekonomian dunia, yang benar saja?” “Hai, permasalahan dunia tidak
hanya berputar pada penanganan HIV/Aids saja yang menjadi keahlian Kim!”
Sorak sorai itu mendengungkan ketidakpercayaan.
Di level mikro,
ketidakpercayaan terjadi dalam keseharian bisnis. Perusahaan yang
sedemikian mapan, selama bertahun-tahun aman-aman saja, bisa jadi
memendam benih ketidakpercayaan yang siap untuk meledak sewaktu-waktu.
Ketidakpercayaan seperti itu menimbulkan pola kerja yang muram dan
menghasilkan produktivitas yang menyedihkan. Keadaan seperti itu tidak
akan hilang dengan hanya berdoa, tapi kerja keras para pemimpin. Ya,
harus diawali dari pemimpin karena merekalah yang memegang tongkat
komando.
Bagaimana orang-orang membangun kepercayaan dalam kehidupan
mereka sehari-hari? Cukupkah melakukan briefing harian dan menceramahi
bawahan? Anda tahu hal seperti itu tidak menyelesaikan masalah. Anda
harus bertindak dan mengkomunikasikannya. Dan ingat sekali lagi,
kepercayaan dimulai dari atas.
Manakala Franklin Quest dan Covey
Leadership Center bergabung dalam Franklin Cove Company, sempat terjadi
kebingungan di dalamnya. Dua perusahaan itu dikenal dengan performa yang
meyakinkan yang didukung orang-orang pilihan di bidang manajemen.
Setiap orang yang pernah merasakaan bagaimana proses merger terjadi
pastilah paham bahwa penggabungan dua budaya tidaklah mudah.
Harapan-harapan yang muncul di awal akuisisi seakan menjadi nisbi.
Kecurigaan muncul dan ungkapan Mahatma Gandhi pun terngiang, “Begitu ada
kecurigaan tentang motif-motif seseorang, segala yang ia lakukan
menjadi ternoda.”
Stephen MR Covey mengakui kegagalan-kegagalan awal
yang ia lakukan adalah karena ia lebih mengandalkan asumsi. Ia pun
melakukan serangkaian langkah untuk membangun kepercayaan. Pemimpin yang
fokus membangun kredibilitas akan menggapai kepercayaan dari orang
lain, bahkan kepercayaan terhadap diri sendiri. Hasilnya? Merger itu
kemudian berjalan mulus dan terjadi budaya saling percaya.
Apa yang
Covey lakukan dimulai dengan sebuah pertemuan di mana ia dengan lantang
mengungkapkan apa yang sebelumnya menjadi kasak-kusuk. Gosip di antara
karyawan dan kecurigaan-kecurigaan dalam politik kantor ia kemukakan
dengan bahasa sederhana. Rapat yang semula dijadwalkan satu jam saja
kemudian melar menjadi seharian. Semua orang seperti ingin memuntahkan
apa yang ada di benak mereka selama ini.
Tiga perilaku
Untuk
menjadi pemimpin yang dipercaya, ada beberapa perilaku yang harus
dilakukan. Stephen Covey mengidentifikasikan tiga perilaku utama para
pemimpin terpercaya (high-trust leaders).
Pertama, bicara langsung.
Jujurlah. Katakan yang sebenarnya dan biarkan orang lain tahu Anda
berada di sisi mana. Gunakan kata-kata sederhana. Covey melakukannya
saat rapat bersama dengan menyatakan apa yang ada di pikirannya. Ia
menyatakan terus-terang tentang friksi yang terjadi akibat
ketidakpercayaan.
Langkah itu memang mengejutkan orang-orang yang
terlibat. Seakan-akan tindakan itu mewakili apa yang mereka pikirkan
selama ini. Ada kecenderungan untuk berkilah. Atau, sebagai orang
Indonesia, lebih bahagia dengan membicarakannya secara diam-diam atau
berbicara dengan sindiran. Tindakan menutup-nutupi apa yang terjadi
sesungguhnya justru menambah ketidakpercayaan.
Langkah kedua adalah
perlihatkan penghargaan (demonstrate respect). Biarkan orang lain tahu
bahwa Anda peduli. Biarkan juga orang lain menyatakan apa yang ia
pikirkan. Mendengarkan terkadang lebih berharga daripada memberi
perintah. Hargai setiap inci dari apa yang terjadi tanpa meninggalkan
prinsip efektivitas.
Terkadang orang lupa bahwa setiap makhluk
memiliki harga diri. Setiap individu memiliki imajinasi. Mereka pun
butuh untuk memiliki kepercayaan diri seperti Anda. Dalam hal ini, apa
yang mereka lakukan membutuhkan afirmasi apakah sudah sesuai dengan yang
telah ditetapkan.
Cara paling ‘primitif’ yang dilakukan oleh
pemimpin adalah dengan mendekati anak kecil atau bayi. Silakan periksa,
ada berapa banyak presiden yang foto bersama anak-anak kecil. Bahkan
Presiden Amerika Serikat selalu memiliki acara untuk mengadakan
pertemuan dengan siswa-siswi sekolah. Ternyata, strategi ini juga
diterapkan oleh pemimpin simpanse.
Dalam menarik kepercayaan
komunitasnya, pemimpin simpanse akan mendekati bayi simpanse dan
mengelus-elus kepala bayi itu. Tindakan itu efektif untuk menunjukkan
bahwa ia perhatian terhadap hal-hal kecil. Jadi, ketika pemimpin
melakukan tindakan besar, secara tidak sadar anggota tim akan langsung
beranggapan bahwa ia tidak akan mengabaikan detil.
Hal yang ketiga
adalah menciptakan transparansi. Terbukalah dan bersikaplah otentik.
Nyatakan perhatian Anda. Biarkan Anda menjadi kristal bening yang bisa
dinikmati oleh semua orang yang memandang. Atau, belajarlah dari
keberhasilan para pembuat software komputer yang memanfaatkan frasa what
you see is what you get (wysiwyg). Manakala Anda membiarkan orang lain
untuk bermain tebak-tebak buah manggis, tidakkah itu sama saja dengan
membiarkan mereka menuju ke arah yang salah?
Seberapa banyak dari
para pemimpin yang telah menyatakan secara terbuka, mau dibawa kemana
organisasi yang ia pimpin? Bayangkan apabila Anda mengikuti rombongan
perjalanan tanpa tahu tujuan. Anda hanya akan berjalan dan melihat. Anda
memiliki impian tetapi tidak memiliki strategi yang nyata karena takut
impian itu tidak sesuai dengan tujuan yang sesungguhnya.