Jumat, 27 April 2012

ASURANSI TERHADAP IFRS


di Industri Properti
dan Asuransi
Konvergensi IFRS berujung pencabutan PSAK 44
tentang Akuntansi Aktivitas Pengembangan Real Estat.
Sementara itu, kontrak asuransi adopsi IFRS 4 Insurance
Contract dan revisi PSAK 28 dan 36
ADOPSI IFRIC 15 Agreements for the construction of real estates, rupanya melahirkan dinamika tersendiri dalam ranah keprofesian akuntansi. Selain pencabutan PSAK 44, ‘naturalisasi’ IFRIC 15 tersebut juga melahirkan Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan ISAK 21 tentang Perjanjian Kon­struksi Real Estat.
Menurut  Anggota DSAK Budi Susanto perbedaan pa­ling utama antara PSAK 44 dan ISAK 21 terletak pada pengakuan pendapatan. PSAK 44 menganut mahzab rule based yang artinya berbasis aturan sedangkan ISAK 21 principal based. Dinamika lain adalah IFRIC 15 (ISAK 21) memperkenalkan konsep pengakuan pendapatan secara terus menerus selama konstruksi berjalan.
Dia mengatakan pula isu yang dibahas dalam ISAK 21 yaitu standar yang berlaku, apakah menggunakan PSAK 34 tentang Kontrak Konstruksi atau  PSAK 23 tentang Pendapatan bila terjadi transaksi di bidang real estat dan sejenisnya. Sedangkan yang kedua adalah kapankah pendapatan tersebut diakui.
“Ruang lingkup ISAK 21 tersebut memang untuk per­janjian konstruksi real estat, di mana komponen untuk konstruksi real estat yang diidentifikasi dalam suatu per­janjian yang juga melibatkan komponen lainnya,” ujarnya, di Balai Kartini 23 Desember 2011.
Penjelasan lain dari Budi adalah tips untuk menentukan apakah sebuah transaksi real estat menggunakan PSAK 34 atau PSAK 23 ditentukan dari apakah pembeli dapat menentukan elemen struktural yang utama dari desain, atau dapat menentukan elemen struktural pada saat konstruksi sedang dalam penyelesaian.
Jika pembeli dapat menentukan komponen utama dari konstruksi tersebut, maka diperbolehkan menggu­nakan PSAK 34. Sebaliknya bila pembeli tidak memiliki kekuasaan untuk menentukan elemen struktural pada saat konstruksi sedang dalam penyelesaian, maka itu termasuk kategori dalam PSAK 23.
“Kalau dalam pembangunan mass production [real estate], maka itu termasuk kategori PSAK 23 yang berhubungan dengan pendapatan. Satu hal yang dicatat bahwa isu ini bukan berhubungan dengan pilihan kebi­jakan akuntansi [karena kriterianya sudah ditegaskan],” ungkapnya.
Budi menuturkan penerapan IFRIC 15 terhadap industri real estat berdampak pada kesulitan dalam analisis laporan keuangan, volatilitas nilai pasar atas saham entitas real estat, pendanaan, perpajakan, dan kesulitan dalam mengambil keputusan berdasarkan rasio industri. “ISAK ini berlaku efektif 1 Januari 2013, tapi sifatnya retrospektif ke posisi 1 Januari 2012,” ujarnya.
Sementara itu Ludovicus Sensi Wandobio mengemukakan bahwa PSAK 62: Kontrak Asuransi diterapkan untuk kontrak asuransi jiwa dan kerugian, kontrak asuransi langsung, reasuransi, dan instrumen keuangan yang diterbitkan dengan fitur partisipasi tidak mengikat. Fitur partisipasi tidak mengikat maksudnya adalah hak kontraktual untuk menerima tambahan manfaat yang dijamin.
Dia mengatakan bahwa karakteristik kontrak asuransi adalah salah satu pihak (insurer) secara signifikan me­nerima risiko asuransi, adanya ketidakpastian kejadian masa depan, mengandung risiko asuransi dan risiko lain. Namun, lanjutnya, risiko asuransi dan risiko lain seperti risiko keuangan yang timbul dalam kontrak asuransi harus dipisahkan. Apa dampaknya?
“Jika PSAK 62 [tentang Kontrak Asuransi] diterapkan, maka kontrak yang mempunyai bentuk hukum sebagai kontrak asuransi belum tentu memenuhi definisi sebagai kontrak asuransi, begitu juga sebaliknya,” ungkapnya.
Doktor Akuntansi Universitas Indonesia tersebut menyebutkan apakah sebuah transaksi digolongkan sebagai kontrak asuransi atau bukan bisa diuji menggunakan pendekatan PSAK 62. Bila kriterianya memenuhi, maka bisa tantangan pengklasifikasiannya tak berhenti sampai di situ. Akuntan harus mengidentifikasi lagi apakah tran­saksi tersebut tergolong asuransi kerugian sesuai konsep PSAK 28 atau justru asuransi jiwa merujuk ke PSAK 32.
Dia mengemukakan insurer dapat mengubah kebijakan akuntansi untuk kontrak asuransi, kecuali perubahan tersebut akan mengakibatkan pengukuran liabilitas asuransi dengan basis tidak didiskonto (undiscounted basis), pengukuran hak kontraktual fee manajemen investasi masa depan melebihi nilai wajar fee pasar, dan penggunaan kebijakan akuntansi yang tidak seragam atas entitas anaknya.
“Tanggal efektif pemberlakuan PSAK adalah 1 Janua­ri 2012, dan tidak dimungkinkan adanya penerapan dini. Sementara itu untuk ketentuan transisi (retrospektif) mengacu ke PSAK 25 tentang Kebijakan Akuntansi, Perubahan Estimasi Akuntansi, dan Kesalahan,” ungkapnya. (AFM, dari Majalah AI edisi 01 2012)

Penerapan IFRS di Indonesia 2012


Indonesia memutuskan untuk berkiblat pada Standar Pelaporan Keuangan Internasional atau IFRS.
Batas waktu yang ditetapkan bagi seluruh entitas bisnis dan pemerintah untuk menggunakan IFRS adalah 1 Januari 2012.
”Semua persiapan ke arah sana harus diselesaikan karena ini akan dimulai pada 1 Januari 2012. Coba dilihat dampak pada biayanya karena pengalihan standar akan menyebabkan timbulnya ongkos tambahan,” ungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, Rabu (5/5), saat menjadi pembicara kunci dalam seminar ”IFRS, Penerapan dan Aspek Perpajakannya”.
Menurut Sri Mulyani, konvergensi akuntansi Indonesia ke IFRS perlu didukung agar Indonesia mendapatkan pengakuan maksimal dari komunitas internasional yang sudah lama menganut standar ini.

”Kalau standar itu dibutuhkan dan akan meningkatkan posisi Indonesia sebagai negara yang bisa dipercaya di dunia dengan tata kelola dan pertanggungjawaban kepada rakyat dengan lebih baik dan konsisten, tentu itu perlu dilakukan,” ujarnya.
Selain IFRS, kutub standar akuntansi yang berlaku di dunia saat ini adalah United States General Accepted Accounting Principles (US GAAP).

Negara-negara yang tergabung di Uni Eropa, termasuk Inggris, menggunakan International Accounting Standard (IAS) dan International Accounting Standard Board (IASB).

Setelah berkiblat ke Belanda, belakangan Indonesia menggunakan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang disusun oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Mula-mula PSAK IAI berkiblat ke Amerika Serikat dan nanti mulai tahun 2012 beralih ke IFRS.
Tujuh Manfaat Penerapan IFRS
Ketua Tim Implementasi IFRS-Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Dudi M Kurniawan mengatakan, dengan mengadopsi IFRS, Indonesia akan mendapatkan tujuh manfaat sekaligus.
  1. Pertama, meningkatkan kualitas standar akuntansi keuangan (SAK).
  2. Kedua, mengurangi biaya SAK.
  3. Ketiga, meningkatkan kredibilitas dan kegunaan laporan keuangan.
  4. Keempat, meningkatkan komparabilitas pelaporan keuangan.
  5. Kelima, meningkatkan transparansi keuangan.
  6. Keenam, menurunkan biaya modal dengan membuka peluang penghimpunan dana melalui pasar modal.
  7. Ketujuh, meningkatkan efisiensi penyusunan laporan keuangan.
”Pengalaman di Eropa, ada beberapa masalah yang muncul dalam implementasi IFRS, antara lain perencanaan waktu yang kurang matang dan kurangnya dukungan dari manajemen puncak,” tuturnya.

Kepala Biro Standar Akuntansi dan Keterbukaan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Etty Retno Wulandari mengatakan, Indonesia perlu mengadopsi IFRS karena sebagian besar negara di dunia sudah menganut standar akuntansi itu.
Dengan demikian, IFRS dapat meningkatkan perlindungan kepada investor pasar modal. ”Bapepam mewajibkan emiten dan perusahaan publik menyampaikan laporan keuangan ke Bapepam dan menyediakannya pada masyarakat. Laporan tersebut harus disajikan dengan standar akuntansi yang berkualitas tinggi,”

Adopsi IFRS untuk Daya Saing di Masa Depan

Mengapa Enron, salah satu raksasa energi Amerika Serikat, dapat mencapai pertumbuhan yang fenomenal dalam waktu singkat, kemudian jatuh bangkrut dalam waktu yang singkat pula? “Ilmu” apakah yang dipakai Jeff Skilling, si jenius lulusan Harvard Business School dan mantan konsultan firma terkemuka McKinsey untuk mencapai semua itu? Jawabnya: akuntansi. Siapakah yang “melindungi” dan meng-approve praktik akuntansi Enron sebelum terungkap? Tak lain adalah akuntan publik Arthur Andersen.
Akuntansi merupakan satu-satunya bahasa bisnis utama di pasar modal. Tanpa standar akuntansi yang baik, pasar modal tidak akan pernah berjalan dengan baik pula karena laporan keuangan merupakan produk utama dalam mekanisme pasar modal. Efektivitas dan ketepatan waktu dari informasi keuangan yang transparan yang dapat dibandingkan dan relevan dibutuhkan oleh semua stakeholder (pekerja, suppliers, customers, institusi penyedia kredit, bahkan pemerintah). Para stakeholder ini bukan sekadar ingin mengetahui informasi keuangan dari satu perusahaan saja, melainkan dari banyak perusahaan (jika bisa, mungkin dari semua perusahaan) dari seluruh belahan dunia untuk diperbandingkan satu dengan lainnya.
Pertanyaannya, bagaimana kebutuhan ini dapat terpenuhi jika perusahaan-perusahaan masih menggunakan bentuk dan prinsip pelaporan keuangan yang berbeda-beda? International Accounting Standards, yang lebih dikenal sebagai International Financial Reporting Standards (IFRS), merupakan standar tunggal pelaporan akuntansi berkualitas tinggi dan kerangka akuntasi berbasiskan prinsip yang meliputi penilaian profesional yang kuat dengan disclosures yang jelas dan transparan mengenai substansi ekonomis transaksi, penjelasan hingga mencapai kesimpulan tertentu, dan akuntansi terkait transaksi tersebut. Dengan demikian, pengguna laporan keuangan dapat dengan mudah membandingkan informasi keuangan entitas antarnegara di berbagai belahan dunia.
Implikasinya, mengadopsi IFRS berarti mengadopsi bahasa pelaporan keuangan global yang akan membuat suatu perusahaan dapat dimengerti oleh pasar global. Suatu perusahaan akan memiliki daya saing yang lebih besar ketika mengadopsi IFRS dalam laporan keuangannya. Tidak mengherankan, banyak perusahaan yang telah mengadopsi IFRS mengalami kemajuan yang signifikan saat memasuki pasar modal global.
Di dunia internasional, IFRS telah diadopsi oleh banyak negara, termasuk negara-negara Uni Eropa, Afrika, Asia, Amerika Latin dan Australia. Di kawasan Asia, Hong Kong, Filipina dan Singapura pun telah mengadopsinya. Sejak 2008, diperkirakan sekitar 80 negara mengharuskan perusahaan yang telah terdaftar dalam bursa efek global menerapkan IFRS dalam mempersiapkan dan mempresentasikan laporan keuangannya.
Dalam konteks Indonesia, konvergensi IFRS dengan Pedoman Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) merupakan hal yang sangat penting untuk menjamin daya saing nasional. Perubahan tata cara pelaporan keuangan dari Generally Accepted Accounting Principles (GAAP), PSAK, atau lainnya ke IFRS berdampak sangat luas. IFRS akan menjadi “kompetensi wajib-baru” bagi akuntan publik, penilai (appraiser), akuntan manajemen, regulator dan akuntan pendidik. Mampukah para pekerja accounting menghadapi perubahan yang secara terus-menerus akan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pasar global terhadap informasi keuangan? Bagaimanakah persiapan Indonesia untuk IFRS ini?
Sejak 2004, profesi akuntan di Indonesia telah melakukan harmonisasi antara PSAK/Indonesian GAAP dan IFRS. Konvergensi IFRS diharapkan akan tercapai pada 2012. Walaupun IFRS masih belum diterapkan secara penuh saat ini, persiapan dan kesiapan untuk menyambutnya akan memberikan daya saing tersendiri untuk entitas bisnis di Indonesia.
Dengan kesiapan adopsi IFRS sebagai standar akuntansi global yang tunggal, perusahaan Indonesia akan siap dan mampu untuk bertransaksi, termasuk merger dan akuisisi (M&A), lintasnegara. Tercatat sejumlah akuisisi lintasnegara telah terjadi di Indonesia, misalnya akuisisi Philip Morris terhadap Sampoerna (Mei 2005), akuisisi Khazanah Bank terhadap Bank Lippo dan Bank Niaga (Agustus 2005), ataupun UOB terhadap Buana (Juli 2005). Sebagaimana yang dikatakan Thomas Friedman, “The World is Flat”, aktivitas M&A lintasnegara bukanlah hal yang tidak lazim. Karena IFRS dimaksudkan sebagai standar akuntansi tunggal global, kesiapan industri akuntansi Indonesia untuk mengadopsi IFRS akan menjadi daya saing di tingkat global. Inilah keuntungan dari mengadopsi IFRS.
Bagi pelaku bisnis pada umumnya, pertanyaan dan tantangan tradisionalnya: apakah implementasi IFRS membutuhkan biaya yang besar? Belum apa-apa, beberapa pihak sudah mengeluhkan besarnya investasi di bidang sistem informasi dan teknologi informasi yang harus dipikul perusahaan untuk mengikuti persyaratan yang diharuskan. Jawaban untuk pertanyaan ini adalah jelas, adopsi IFRS membutuhkan biaya, energi dan waktu yang tidak ringan, tetapi biaya untuk tidak mengadopsinya akan jauh lebih signifikan. Komitmen manajemen perusahaan Indonesia untuk mengadopsi IFRS merupakan syarat mutlak untuk meningkatkan daya saing perusahaan Indonesia di masa depan