Senin, 14 Mei 2012

simpanan Hidup Untuk masa depan

Berbekal pengalaman sebagai birokrat, Zaafril Razief Amir memiliki obsesi menjadikan PT Asuransi Ekspor Indonesia (Asei) berbeda dengan perusahaan asuransi lainnya.
Lulusan pertama Universitas Indonesia untuk konsen trasi asuransi ini menginginkan BUMN yang dipimpinnya itu berkontribusi signifikan bagi peningkatan ekspor sekaligus menunjang perekonomian nasional, dan menjadi perusahaan sehat.
Kepada Bisnis Indonesia, pehobi golf ini menuturkan banyak tentang perjalanan karier, persaingan, hingga strategi kerja sama dan layanan kepada pelanggan. Petikannya:
Bagaimana perjalanan Anda menjadi orang nomor satu di Asei?Saya kuliah di Universitas Indonesia mengambil jurusan akuntansi. Saat tingkat tiga, saya diberi beasiswa oleh perusahaan asuransi asal Jepang, termasuk untuk bekerja di perusahaan itu jika sudah lulus, tetapi tidak mengikat. Saya lulusan pertama UI untuk konsentrasi asuransi.Saya diterima di Kemenkeu di bagian yang menjadi cikal Badan Kebijakan Fiskal. Jadi background saya manajemen asuransi, tetapi saya mengerjakan sesuatu yang makro, seperti perencanaan APBN dan analisis perbankan.Saat dibentuk Ditjen Lembaga Keuangan. Saya menjadi direktur perbankan. Setelah itu, saya ditempatkan di bagian pendidikan, lalu ditempatkan di Asei, sebagai direktur operasional.Sempat kembali ke Kemenkeu, saya ditugaskan lagi ke Asei menjadi direktur utama. Pada 2010, ketika saya berusia 56 tahun, saya mendapatkan pilihan kembali lagi ke Kemenkeu atau tetap di Asei dengan status pensiun.Apakah Anda tidak merasakan canggung ketika pindah dari Depkeu ke Asei yakni beralih dari birokrat menjadi pelaku usaha?Saat ini, saya sudah memiliki bermacam-macam latar belakang, menjadi birokrat, pembuat peraturan, pengawasan ketika di Direktorat Perbankan, dan juga latar belakang sebagai pelaku usaha.Kalau boleh jujur, saya lebih suka menjadi pelaku usaha. Ini lebih cocok dengan karakter saya, daripada jika saya di birokrasi.
Sebagai birokrat, terus terang ruang gerak untuk inovasi, kreativitas, dan improvisasi cenderung dibatasi. Tapi kalau di sini [Asei] saya bisa berinovasi apa saja. Bisa membuat produk baru, bekerja sama, menyusun strategi, menyusun skema-skema. Di Asei saya melakukan sendiri, membuat kebijakan sendiri, mengukur sendiri, begitu pun dalam mengangkat pegawai, saya harus berhitung.
Jauh lebih menantang di sini. Semuanya jelas. Tanggung jawab saya jelas. Hasilnya juga jelas. Misalnya kalau saya melakukan sesuatu maka hasilnya seperti apa dan kalau saya tidak melakukan hasilnya seperti apa. Saya suka itu, semuanya terukur, nyata. Saya jadi dapat melihat perkembangan seperti apa. Ketika menjadi birokrat tidak dapat seperti itu.
Bagaimana pasang surut mengelola Asei?Tujuan lembaga seperti Asei itu mulia. Hampir semua negara besar memiliki ECA [export credit agency] seperti Asei, yaitu lembaga yang dibuat oleh pemerintah untuk mendorong ekspor. Biasanya di bawah perdana menteri, atau menteri, bahkan ada yang langsung di bawah pimpinan negara. ECA umumnya berformat government agency, seperti Bulog. Kalau untung labanya untuk kepentingan usahanya. Kalau rugi akan dibantu pemerintah.
Di luar negeri, bentuknya lembaga nirlaba milik pemerintah untuk meningkatkan ekspor. Lembaga ini tidak membayar dividen, tidak membayar pajak, dan kerugian operasional ditanggung pemerintah. Kinerjanya diukur berdasarkan seberapa besar membantu peningkatan ekspor.
Di sini, kami diperlakukan sebagai BUMN asuransi yang ter kena dua regulasi, yaitu regulasi BUMN dan asuransi. Sebagai asuransi, kami terkena ketentuan keuangan, permodalan, dan rasio solvabilitas. Sebagai BUMN, kami harus memperoleh laba, membayar pajak, dan membayar dividen.
Ukuran kinerja sama dengan perusahaan asuransi lain, seperti pendapatan premi, dan RBC (risk based capital).Artinya kita punya misi mendorong ekspor, tetapi tidak boleh merugi dan harus sehat. Karena saya harus mendukung usaha kecil, dan usaha lemah, saya menjadi jauh lebih berisiko. Jadi tugas ECA di sini jauh lebih berat daripada ECA di luar negeri.Akhirnya saya harus memilih nasabah yang aman bagi Asei. Padahal, sebetulnya yang perlu saya bantu adalah nasabah yang ti dak aman, yang kecil-kecil, yang tidak berpengalaman ekspor, dan tidak punya pengetahuan siapa pembeli dari luar negeri.Ternyata yang masuk ke Asei adalah perusahaan-perusahaan besar yang standar opera sionalnya mengharuskan ionalnya mengharuskan mereka mengasuransikan risikonya. Dari kontribusi ke laba lebih besar, lebih enak untuk saya. Tetapi sebetulnya fungsi saya kan, harus mendukung usaha kecil. Nah, ini yang kurang terlak sana karena saya harus mengejar laba. Ini kegalauan saya.
Apakah itu tidak mengubah fungsi Asei sebagai ECA?Fungsinya tetap ECA karena anggaran dasar menjadikan Asei sebagai ECA, ya itu ECA yang boleh menjalankan ke giatan asuransi umum dan penjaminan. Ada untung-ruginya. Untungnya, ASEI menjadi one stop service. Tidak ada ECA lain yang mempunyai empat usa ha sekaligus dalam satu atap. Kami punya.
Kerugiannya adalah tidak jelasnya Asei ini sebagai makhluk apa. Ini keg undahan saya. Fungsi pokok Asei jelas yaitu ECA, tetapi kegiatan asuransi umum mendominasi.
Pernahkah Anda mengambil keputusan sulit dan dilematis? Seperti apa?Keputusan yang menantang, yaitu meng ubah pola pikir dan etos kerja di sini. Pasalnya, Asei dikenal sebagai perusahaan yang uangnya banyak. Dulu kami hidup dari investasi, sedangkan penerimaan hasil penge lolaan premi kecil. Ketika krisis 1997--1998, saat bunga investasi tinggi, Asei jaya betul.
Kami dulu punya captive market. Semua kre dit ekspor wajib diasuransikan ke Asei. Itu membuat mental kami cenderung menunggu penyaluran kredit ekspor bank, dan wajib diasuransikan ke Asei. Asei pun menjadi lembaga yang manja dan stafnya tak berkembang inisiatifnya.
Waktu saya masuk Asei, produknya itu-itu saja. Asei memang punya produk asuransi ekspor, asuransi kredit, surety ship, tetapi biasabiasa saja. Nasabah asuransi ekspor hanya 50 nasabah. Untuk asuransi kredit hanya punya kerja sama dengan satu bank. Surety ship-nya biasa-biasa saja. Asuransi umumnya hampir tidak berkembang.
Setelah diselidiki, ternyata tolak ukur kinerja ketika itu laba. Laba dari berhasilnya investasi di deposito sudah dianggap prestasi.
Bagaimana Anda memersepsikan pelanggan?
Saya di perusahaan jasa, pelanggan pasti luar biasa untuk saya. Saya memberikan ser vis kepada perbankan dan eksportir. Bagi perbankan, saya dinilai dari konsistensi omongan. Ini yang saya jaga.
Hal pertama yang saya janjikan adalah klaim pasti dibayar. Di perusahaan asuransi beredar anggapan jika bisa tidak bayar klaim maka tak akan bayar dengan alasan sedemikian rupa. Namun, saya memastikan di awal klaim harus dibayar. Treatment saya 2 minggu, boleh dibukti kan. Kalau ada yang berlama-lama dalam membayar klaim, saya marah sekali.Saya tidak akan lari dari itu [bayar klaim]. Jadi, orang akan nyaman. Klien harus dilayani dengan baik. Kalau boleh jujur, modal tidak terlalu perlu untuk saya.
Bagaimana terhadap pesaing?Secara keberadaan, tidak ada asuransi ekspor lain di Indonesia. Namun, secara praktik ada, seperti Euler Hermes yang kantornya di Singapura.
Oleh karena itu, saya harus fight agar pengusaha kita lebih percaya lembaga di dalam negeri.Untuk itu Asei bekerja sama dengan NEXI, ECA-nya Jepang. Wilayah kerjanya sudah dunia.
Saat saya datang sendiri untuk menjamin ekspor perusahaan-perusahaan Jepang di sini, mereka bertanya, kamu siapa. Tetapi ketika saya gandeng NEXI, mereka menjadi yakin. “Oo, NEXI..
NEXI..“
Bagaimana Anda menyiapkan atau memetakan Asei ke depan?
Asei itu luar biasa. Hal yang saya kembangkan adalah kepercayaan. Waktu saya datang pertama, yang saya jual adalah bahwa saya harus dipercaya. Sekarang alhamdulillah saya sudah mendapatkan kepercayaan dari ECA-ECA di luar negeri.
Kepercayaan itu paling penting. Saya bekerja sama dengan hampir semua ECA di Asia seperti Jepang, Korsel, China, India, Taiwan, Hong Kong, Malaysia, Thailand, serta Uni Emirat Arab dan ECA-ECA di Timur Tengah. Penjaminan saya sudah bisa diterima di semua negara itu.Saya ingin menggerakkan bank memberikan kredit kepada siapa pun yang saya tunjuk atas dasar kepercayaannya kepada saya dan penjaminan Asei. Jadi, saya tidak perlu tambahan modal, atau menjadi bank, untuk dapat menggerakkan potensi ekonomi itu.Saya berharap perusahaan seperti ini lebih banyak lagi. Indonesia perlu penjamin-penjamin, seperti Asei.
Pernahkah Anda menghadapi karyawan yang menentang keputusan Anda?
Protes frontal tidak ada. Tapi diam-diam tidak dikerjakan, tidak mengerti, malu bertanya, ya, yang seperti itu. Orang yang punya visi dan ingin maju tidak banyak. Lebih banyak yang mau aman. Dari hari ke hari bekerja itu-itu saja. Produk tak dikembangkan. Pemikiran tidak dikembangkan.
Saya menganggap ini tantangan. Saya tidak bisa bekerja sendiri. Semua harus saya didik supaya berpandangan sama dengan pandangan CEO-nya.
Siapa orang di balik sukses Anda?Banyak. Dari keluarga, tentu orang tua. Saya percaya tidak ada orang sukses kalau tidak baik pada orang tuanya. Berkah Allah itu melalui orang tua. Sukses itu luar dalam.
Kedua, atasan-atasan saya yang telah mendidik saya. Dan tentunya pemegang saham yang memberi kepercayaan luas untuk mengembangkan Asei.
Bagaimana Anda menyeimbangkan urusan pekerjaan dengan keluarga?
Itu sebetulnya persoalan klasik. Tetapi kalau bekerja dengan senang dan sepenuh hati, hasilnya beda. Kadang heran mengapa saya cukup kuat di sini, sejak awal bergabung hingga sekarang belum pernah absen. Kalau pulang dari luar negeri masih pukul 15.00 atau 16.00, saya pasti sempatkan ke kantor. Saya merasa Asei adalah anak saya yang harus saya jaga. Ada amanah.
Apa obsesi Anda yang belum tercapai?
Kalau urusan pribadi, saya ingin secepatnya menuntaskan anak-anak. Paling tidak, ya nikah semua. Tapi ternyata tidak bisa cepat, karena saya punya anak yang masih berusia 9 tahun.
Kedua, saya ingin membuat Asei berbeda.Asei harus punya peran, baik peran makro maupun peran mikro. Peran makro adalah menunjang perekonomian nasional dan menyumbang peningkatan ekspor. Peran mikronya menjadi perusahaan sehat.

Sudirman Maman Rusdi

Selalu berpikir lebih maju menjadi modal bagi Sudirman Maman Rusdi, yang merintis karier dari tingkatan pekerja paling bawah ini menjadi orang nomor satu di PT Astra Daihatsu Motor (ADM).
Tak hanya itu, pria kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, ini juga menjadi orang non-Jepang pertama yang dipercaya menduduki jabatan Direktur Daihatsu Motor Company Ltd, sejak perusahaan Jepang ini berdiri pada 1907.
Dalam sebuah wawancara dengan Bisnis Indonesia, Sudirman tak hanya bercerita tentang perjalanan kariernya, tetapi juga memaparkan kunci-kunci mengatasi kesulitan, orang di balik suksesnya, agenda yang tengah dijalankan, hingga rencana yang menjadi obsesinya. Berikut petikannya:
Bagaimana perjalanan Anda di Daihatsu?
Ceritanya panjang. Sebelum masuk Daihatsu saya sudah bekerja 1,5 tahun sebagai chief bidang perencanaan pada perusahaan joint venture PT Aluminium Working Indonesia di Tangerang.
Saya masuk Daihatsu pada 1978. Saya melamar, dari 86 orang yang dites, tiga orang lolos. Saat itu Daihatsu membuat komponen body, saya sebagai staf produksi. Pabrik saat itu masih kosong, saya membuat layout tempat untuk peralatan yang mau datang. Saat itu benar-bena dari nol, tempat makan saya makan saya bangun sendiri, baju-baju bergelantungan, saya bikin loker dari papan. Saya makan minum di atas mesin, dikerjakan dari siang, malam, sampai siang. Tiga bulan bekerja saya diangkat jadi karyawan.
Tahun 1989 saya menjadi assistant manager manufacturing department, dan manajer pada 1989. Sejak Februari 2011 menjadi Presiden Direktur ADM, dan menjadi Direktur Daihatsu Motors Company (DMC), Jepang, sejak Juni 2011.
Orang non-Jepang pertama jadi Direktur DMC?
DMC itu berdiri pada 1907 untuk membuat mesin-mesin pertanian.
Pada 1951 Toyota masuk, barulah namanya menjadi Daihatsu dan memproduksi mobil. Selama perjalanan panjang, hingga tahun lalu berumur 104 tahun tidak ada satu pun direksinya orang asing.
Diangkat menjadi Presiden Direktur ADM saya merasa ini amanah dan kepercayaan, karena kepemilikan saham DMC 61,8% yang notabene presiden direk notabene presiden direk tur dari mereka. Astra sebagai pemegang saham kedua 31,8% dengan jabatan vice president, jabatan yang saya pegang sebelumnya.
Yang pertama dikasih tahu waktu itu adalah Pak Hidayat, Menteri Perin dustrian, saat Chairman DMC itu ber temu pada 31 Agustus 2010. Sebelum itu, Chairman DMC sempat bertanya pada saya tentang umur. Umur saya 56 tahun. Dia bilang perusahaan sudah besar, Anda sudah berkecimpung sejak lama membangun ADM, dan sebagai apresiasi perusahaan ini dipegang orang Indonesia. Dan saya percaya dipegang oleh Anda.
Dia bilang jika sudah menjadi Presiden Direktur ADM bisa menjadi direktur di DMC, dan ini baru pertama kalinya terjadi.
Bagaimana Anda menanggapinya?
Semua itu adalah Tuhan yang menentukan, manusia hanya bisa berusaha. Saya anggap ini anugerah.
Saya selalu berpikir satu langkah ke depan, saya belajar. Saat menjadi asisten manager, saya berpikir tugas dan tanggung jawab manager itu seperti apa. Ini bukan berambisi menduduki posisi itu, tetapi saat posisi itu ada, tentu akan diberikan kepada orang yang paling siap, tahu tugas dan tanggung jawabnya.Pengalaman tersulit apa yang pernah dialami?
Saat krisis 1998 harus mengurangi orang. Daftarnya orang-orang yang pernah menjadi atasan, senior saya, meski Astra memberi kompensasi yang baik. Lalu saya memulai lagi dari nol lagi. Siapa-siapa yang saya tunjuk jadi kepala pabrik.
Kalau mengenai turun naik produksi, sejak awal berkarier, itu biasa. Kesulitannya lebih kepada hati. Mereka yang bekerja bersama-sama saya 10-15 tahun dan pernah menjadi senior.
Kata kunci untuk mengatasi kesulitan itu?
Saya mengajak berpikiran logis dulu, bicara fakta, lalu dari hati ke hati. Ini kan bukan kehendak pribadi, tetapi karena tuntutan profesionalisme.
Pernahkah mengambil keputusan yang keliru lalu disesali?
Ada, tetapi bukan keputusan fatal. Bukan berarti keputusannya salah, tetapi kurang sem purna, berarti di lain waktu perlu improvement lagi.
Keputusan monumental yang pernah diambil?
Saya lebih melihat ke depan bagaimana langkah strategi perusahaan. ADM ini harus seperti ini, saya ajukan ke Jepang, dan gayung bersambut. Contoh, mendirikan pabrik baru di Kawasan Industri Suryacipta, Karawang.
Inspirasinya datang saat pulang dari Eropa. Di pesawat saya berpikir poyeksi pasar, dan kapasitas pabrik Daihatsu dan Toyota yang tidak akan mencukupi. Izin pabrik di Sunter tidak selamanya, hanya sampai 2024.
Lalu kita mulai berpikir untuk mencari tanah dan mengatakan pada DMC. Januari beli tanah, Mei 2011 kami ground breaking. Saat ini pabrik sudah 80%, mesin sudah ada di sini. Oktober siap operasi.
Pembangunan pabrik baru salah satu yang monumental?
Pada awalnya saya memang ingin mencari tanah untuk tempat R&D. Namun karena pasarnya sedang bagus, makanya saya balik. Saya membangun pabrik, tetapi R&D akan tetap dilanjutkan. Akhir bulan ini fasilitas R&D sudah mulai dibangun.
Bagaimana Anda melihat kompetitor dan memperlakukan pelanggan?
Semua melihat Indonesia sebagai pasar yang kompetitif. Kita tidak bisa petitif. Kita tidak bisa menghindari persaingan. Pada akhir nya semua kita kembalikan kepada konsumen.
Salah satu cara nya adalah bagaima na memberi kepua san maksimal pada konsumen. Kalau secara produk, model antarmerek itu hampir sama, teknologi juga tidak terlalu berbeda, tinggal mau dipasarkan dengan harga berapa. Pemenang di tangan konsumen.
Kami dalam menetapkan supplier syaratnya QCD, quality, cost, delivery. Setiap mau investasi kami jeli melihat pasar itu seberapa besar karena pernah mengalami pahitnya. Punya kapasitas produksi 78.000 unit tetapi hanya ber 78.000 unit tetapi hanya ber produksi 18.000 unit setahun.
Bagaimana Anda melihat posis R&D?
Sangat strategis. Jika mempunyai kemampuan R&D, kita bisa merespons pasar dengan cepat karena pasa dinamis, apalagi persaingan semakin ketat. Kita bisa mengetahui segmen pasar, kebutuhan pasar ekspor, dan bisa buat produk yang diperlukan pasar.
Tanpa R&D, semua ditetapkan oleh prinsipal, mulai dari perencanaan awal sampai produk itu di-launching butuh waktu 2,5--3,5 tahun. Selama ini, baru 10%-15% orang ADM yang membantu di Jepang untuk ang membantu di Jepang untuk Avanza-Xenia. Kita mau rancang bangun pembuatan body dan sasis dilakukan oleh orang orang Indonesia.
Strategi dalam 1-2 tahun ke depan?
Saya harus menyiapkan budget pabrik baru, meningkatkan kapasitas produksi. Tahun ini, pembangunan R&D dilakukan tahap pertama, tahun depan tahap kedua, ketiga, ini dilakukan terus.
Siapa orang di balik sukses Anda?
Atasan yang memberi kepercayaan kepada saya. Pertama memberi saya kepercayaan di Daihatsu adalah Pak Josep Handoko. Ketika di National Astra Motor adalah Pak Aji Santoso.
Berikutnya Pak Prijono sebagai atasan langsung. Banyak diskusi juga dengan almarhum Pak Michael D. Roeslim.
Jadi kuncinya, selain belajar dan berpikir ke depan, saya menjaga kepercayaan dengan melakukan yang terbaik sehingga mendapatkan kesempatan. Kesuksesan itu tidak terlepas dari yang memimpin.
Kepada anak buah, saya selalu mengajarkan supaya mengoreksi saya jika keliru. Daihatsu saya ingin membentuk tim yang super, bukan individu yang super. Saya ingin tim yang solid.
Apakah mempersiapkan kader di ADM?
Seperti yang saya bilang tadi, mempersiapkan fondasi yang kuat, termasuk kader-kader. Dulu setelah pengurangan karyawan, produksi turun. Kita tidak merekrut banyak karyawan. Pada 2004-2005 baru merekrut yang bagus-bagus lagi.
Saya ingin paripurna dengan baik, meninggalkan legacy bagi perusahaan ini, menyiapkan fondasi perusahaan dengan baik, stepping perusahaan ke depannya, termasuk orang-orangnya.
Kebanggaaan saya terhadap perusahaan ini adalah karyawan yang mencapai 9.000 orang. Dulu karyawan 4.500 orang, ada krisis dipotong-potong jadi 1.400-an orang. Memberikan lapangan kerja, dan kesejahteraan itu membahagiakan saya. Belum lagi ada 155 pemasok tingkat pertama, 850 pemasok tingkat kedua. Berapa itu karyawannya, dan keluarganya.
Sistem kaderisasinya seperti apa?
Kami mengikuti pola Astra. Ada people assessment management, ada people roadmap, kita lakukan itu.
Persiapan bisnis atau kegiatan di masa pensiun?
Tidak [ada]. Saya mungkin mencari kesibukan saat itu, tetapi saya ingin menikmati hidup.
Bagaimana membagi urusan keluarga dengan pekerjaan?
Sejak 2 tahun lalu saya korbankan bermain golf. Saya menyadari anak­ anak makin besar, membutuhkan perhatian. Kalau Sabtu masih harus bekerja, Minggu siang harus buat keluarga. Olahraga relatif tidak ada.
Cita­-cita saat kecil?
Ingin bikin mobil. Ayah saya punya perusahaan angkutan. Kalau ada sopir mau bongkar mesin saya tak jadi main bola, ikut nongkrongin bongkar mesin.
Siapa tokoh idola?
Dulu saya paling suka mendengarkan pidato Bung Karno. Lalu saya lihat orang pintar, berposisi di luar negeri, [Bacharuddin Yusuf] Habibie. Tapi yang selalu mengilhami, mendorong, dan menasehati itu ibu saya.
Obsesi?
Itu tadi. menyiapkan fondasi yang kuat, membangun kader-kader yang bagus, itu legacy bagi perusahaan.
Kenangan depresi besar atau great depression mulai muncul lagi di benak para ekonom. Setiap kali membaca berita perekonomian dunia, seakan-akan selalu muncul istilah ‘tidak becus’ dan ‘ketidakmampuan’. Maka, bayangan miris tentang depresi perekonomian yang melanda berbagai belahan bumi seusai Perang Dunia II pun menjadi ‘hantu’ di berbagai prediksi.
Apakah sesungguhnya para pengambil kebijakan dunia itu memang tidak becus? Benarkah lulusan dari Harvard itu kurang cerdik menangani krisis di Amerika Serikat? Para staf ahli menteri di Eropa itu tidak mampu merumuskan formula tepat terhadap berbagai krisis di beberapa negara?
Perkara yang sebenarnya terjadi adalah kepercayaan. Manakala Presiden Barack Obama mengajukan nama Jim Yong Kim sebagai bos di Bank Dunia untuk menggantikan Robert Zoellick, yang ia ajukan adalah kepercayaan.
Para pengamat meributkan kompetensi Kim, “Seorang dokter mengurusi perekonomian dunia, yang benar saja?” “Hai, permasalahan dunia tidak hanya berputar pada penanganan HIV/Aids saja yang menjadi keahlian Kim!” Sorak sorai itu mendengungkan ketidakpercayaan.
Di level mikro, ketidakpercayaan terjadi dalam keseharian bisnis. Perusahaan yang sedemikian mapan, selama bertahun-tahun aman-aman saja, bisa jadi memendam benih ketidakpercayaan yang siap untuk meledak sewaktu-waktu. Ketidakpercayaan seperti itu menimbulkan pola kerja yang muram dan menghasilkan produktivitas yang menyedihkan. Keadaan seperti itu tidak akan hilang dengan hanya berdoa, tapi kerja keras para pemimpin. Ya, harus diawali dari pemimpin karena merekalah yang memegang tongkat komando.
Bagaimana orang-orang membangun kepercayaan dalam kehidupan mereka sehari-hari? Cukupkah melakukan briefing harian dan menceramahi bawahan? Anda tahu hal seperti itu tidak menyelesaikan masalah. Anda harus bertindak dan mengkomunikasikannya. Dan ingat sekali lagi, kepercayaan dimulai dari atas.
Manakala Franklin Quest dan Covey Leadership Center bergabung dalam Franklin Cove Company, sempat terjadi kebingungan di dalamnya. Dua perusahaan itu dikenal dengan performa yang meyakinkan yang didukung orang-orang pilihan di bidang manajemen. Setiap orang yang pernah merasakaan bagaimana proses merger terjadi pastilah paham bahwa penggabungan dua budaya tidaklah mudah. Harapan-harapan yang muncul di awal akuisisi seakan menjadi nisbi. Kecurigaan muncul dan ungkapan Mahatma Gandhi pun terngiang, “Begitu ada kecurigaan tentang motif-motif seseorang, segala yang ia lakukan menjadi ternoda.”
Stephen MR Covey mengakui kegagalan-kegagalan awal yang ia lakukan adalah karena ia lebih mengandalkan asumsi. Ia pun melakukan serangkaian langkah untuk membangun kepercayaan. Pemimpin yang fokus membangun kredibilitas akan menggapai kepercayaan dari orang lain, bahkan kepercayaan terhadap diri sendiri. Hasilnya? Merger itu kemudian berjalan mulus dan terjadi budaya saling percaya.
Apa yang Covey lakukan dimulai dengan sebuah pertemuan di mana ia dengan lantang mengungkapkan apa yang sebelumnya menjadi kasak-kusuk. Gosip di antara karyawan dan kecurigaan-kecurigaan dalam politik kantor ia kemukakan dengan bahasa sederhana. Rapat yang semula dijadwalkan satu jam saja kemudian melar menjadi seharian. Semua orang seperti ingin memuntahkan apa yang ada di benak mereka selama ini.
Tiga perilaku
Untuk menjadi pemimpin yang dipercaya, ada beberapa perilaku yang harus dilakukan. Stephen Covey mengidentifikasikan tiga perilaku utama para pemimpin terpercaya (high-trust leaders).
Pertama, bicara langsung. Jujurlah. Katakan yang sebenarnya dan biarkan orang lain tahu Anda berada di sisi mana. Gunakan kata-kata sederhana. Covey melakukannya saat rapat bersama dengan menyatakan apa yang ada di pikirannya. Ia menyatakan terus-terang tentang friksi yang terjadi akibat ketidakpercayaan.
Langkah itu memang mengejutkan orang-orang yang terlibat. Seakan-akan tindakan itu mewakili apa yang mereka pikirkan selama ini. Ada kecenderungan untuk berkilah. Atau, sebagai orang Indonesia, lebih bahagia dengan membicarakannya secara diam-diam atau berbicara dengan sindiran. Tindakan menutup-nutupi apa yang terjadi sesungguhnya justru menambah ketidakpercayaan.
Langkah kedua adalah perlihatkan penghargaan (demonstrate respect). Biarkan orang lain tahu bahwa Anda peduli. Biarkan juga orang lain menyatakan apa yang ia pikirkan. Mendengarkan terkadang lebih berharga daripada memberi perintah. Hargai setiap inci dari apa yang terjadi tanpa meninggalkan prinsip efektivitas.
Terkadang orang lupa bahwa setiap makhluk memiliki harga diri. Setiap individu memiliki imajinasi. Mereka pun butuh untuk memiliki kepercayaan diri seperti Anda. Dalam hal ini, apa yang mereka lakukan membutuhkan afirmasi apakah sudah sesuai dengan yang telah ditetapkan.
Cara paling ‘primitif’ yang dilakukan oleh pemimpin adalah dengan mendekati anak kecil atau bayi. Silakan periksa, ada berapa banyak presiden yang foto bersama anak-anak kecil. Bahkan Presiden Amerika Serikat selalu memiliki acara untuk mengadakan pertemuan dengan siswa-siswi sekolah. Ternyata, strategi ini juga diterapkan oleh pemimpin simpanse.
Dalam menarik kepercayaan komunitasnya, pemimpin simpanse akan mendekati bayi simpanse dan mengelus-elus kepala bayi itu. Tindakan itu efektif untuk menunjukkan bahwa ia perhatian terhadap hal-hal kecil. Jadi, ketika pemimpin melakukan tindakan besar, secara tidak sadar anggota tim akan langsung beranggapan bahwa ia tidak akan mengabaikan detil.
Hal yang ketiga adalah menciptakan transparansi. Terbukalah dan bersikaplah otentik. Nyatakan perhatian Anda. Biarkan Anda menjadi kristal bening yang bisa dinikmati oleh semua orang yang memandang. Atau, belajarlah dari keberhasilan para pembuat software komputer yang memanfaatkan frasa what you see is what you get (wysiwyg). Manakala Anda membiarkan orang lain untuk bermain tebak-tebak buah manggis, tidakkah itu sama saja dengan membiarkan mereka menuju ke arah yang salah?
Seberapa banyak dari para pemimpin yang telah menyatakan secara terbuka, mau dibawa kemana organisasi yang ia pimpin? Bayangkan apabila Anda mengikuti rombongan perjalanan tanpa tahu tujuan. Anda hanya akan berjalan dan melihat. Anda memiliki impian tetapi tidak memiliki strategi yang nyata karena takut impian itu tidak sesuai dengan tujuan yang sesungguhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar